Minggu, 15 Oktober 2017

Pesantren dan Pendidikan Berbasis Akhlak-Tasawuf



Pesantren dan Pendidikan Berbasis Akhlak-Tasawuf


Saat topik kurikulum pendidikan berbasis karakter sedang hangat-hangatnya dibahas, banyak kalangan mengungkapkan pesantren adalah contoh yang bagus bagaimana kurikulum pendidikan karakter itu diterapkan. Hal itu tidak mengherankan karena memang pesantren memang merupakan lembaga pendidikan yang sangat erat dengan penanaman akhlak karimah. Bukan hanya dalam kajiannya, tetapi juga dalam praktik kehidupan sehari-hari. Selaras dengan ini, Ghazali (2002:33) berpendapat bahwa wujud sistem pendidikan terpadu pondok pesantren terletak pada tiga komponen, yaitu: Belajar, Pembinaan, dan Praktek. Bahkan bisa dikatakan bahwa pendidikan karakter di pesantren lebih ditekankan ke arah karakter praktis bukan kajian formil, akhlak karimah tidak hanya dilihat sebagai suatu ilmu, melainkan sebagai filosofi menjalani hidup yang termanifestasikan dalam gerak tubuh kehidupan sehari-hari.
Di pesantren, pendidikan karakter dapat dibagi menjadi dua: akhlak dan tasawuf. Meski secara definisi bahasa kedua kata itu akan mengarah pada pemahaman makna yang sama, yakni karakter dan etika seseorang kepada diri sendiri dan pihak lain (baik Tuhan atau sesama manusia), namun secara pendidikannya, kedua kata itu dibedakan tergantung objeknya. Akhlak adalah etika kepada orang lain dan tasawuf adalah etika manusia kepada diri sendiri dan kepada Tuhannya.
Akhlak dimulai dengan pengetahuan tentang aturan benar-salah, halal-haram, hukum semua tindakan manusia dalam syariat. Ilmu ini dikenal dengan fikih. Sebelum menghormati dan beretika kepada orang lain, seseorang harus tahu terlebih dahulu apa yang boleh dan yang tidak, apa yang harus dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan. Tidak mungkin seseorang akan melakukan respon, baik respon positif atau negatif jika dia tidak tahu yang dilakukan orang lain adalah benar atau salah. Kemudian akhlak sebagai pengetahuan, berisikan aturan-aturan etika kepada diri sendiri dan orang lain, tata cara menghormati, serta karakter yang bersifat spirit, seperti ikhlas, rendah hati, kasih sayang, semangat yang tinggi, kedisiplinan, dan rela berkorban demi orang lain. Dan akhirnya akhlak sebagai perilaku praktis (amal) karena memang inilah esensi dari ilmu akhlak itu sendiri.
Sedangkan tasawuf selain juga dimulai dengan fikih (aturan tentang halal-haram bagi dirinya), juga ditopang oleh pengetahuan tentang keyakinan dan kebenaran (ontologi). Keyakinan tentang adanya Yang Maha Kuasa dengan segala kemahasuciannya, tentang para utusan-Nya, tentang para malaikat, makhluk lain, dan juga segala hal tentang akhirat, termasuk di dalamnya surga bagi yang baik dan neraka bagi yang buruk. Dilanjutkan dengan pengetahuan tentang puncak tujuan diciptakannya manusia, yakni kembali kepada Tuhannya serta cara-cara untuk kembali, seperti menyucikan hati dari sifat-sifat tercela, menghias hati dengan karakter terpuji, dan upaya mujahadah dan taqarrub dengan amal-amal sunah.
Kemudian itu semua dibungkus dengan epistemologi khas pesantren (baca: Islam), seperti keyakinan bahwa ilmu itu adalah pemberian Tuhan, bukan dari belajar. Dengan ini dapat dipahami tentang  pentingnya doa, menjaga kesucian saat belajar, menjauhi kenikmatan duniawi atau yang dikenal dengan tirakat, dan menghormati guru, ilmu, dan media ilmu.
Selain itu satu hal sangat penting di dalam pendidikan berbasis akhlak-tasawuf adalah pengajaran mengenai tujuan utama dari hidup yang diajarkan sejak dini, yakni ketauhidan yang terpancarkan dalam keyakinan dan perilaku hingga akhir hayat (al-Baqarah : 133 dan 132). Bila dalam pendidikan karakter dijelaskan bahwa dimensi yang harus disentuh oleh pendidikan ada tiga: kognitif, afektif, dan psikomotorik, maka dalam pendidikan berbasis akhlak-tasawuf ditambah satu lagi, yaitu dimensi filosofi hidup. Dalam pendidikan berbasis akhlak-tasawuf tidak hanya diajarkan keharusan menjadi pintar, kaya bakat, dan berbuat baik kepada semua orang, tetapi semua itu haruslah senantiasa dilakukan atas dasar tujuan utama, yakni menjadi hamba Allah swt yang baik. Sehingga diharapkan semua tindak-tanduk kehidupan seorang muslim – apapun bentuknya - akan mengerucut pada satu titik, mencari ridha Allah swt.
Belum lagi bila dilihat dari unsur pendidikannya. Pendidikan karakter di pesantren tidak hanya diupayakan dari pengajaran di kelas, tapi ada banyak langkah yang ditempuh agar suatu kebaikan dapat menjadi karakter bagi peserta didik, seperti modelling figure (sosok figur kiai dan ustad sebagai uswah) dan penghayatan (memaknai suatu kebaikan).
Dengan melihat hal-hal di atas, tidak mengherankan bila topik pendidikan karakter banyak dikaitkan dengan pendidikan di pesantren, karena memang pesantren sejak berabad lamanya telah memiliki pendidikan karakter yang khas dan komplit dan – tentu saja – bernafaskan ruh islam. Luar biasa.
Lalu kenapa pendidikan karakter di pesantren tidak lantas dijadikan rujukan? Bukankah seharusnya yang terjadi adalah lembaga-lembaga luar berbondong-bondong melakukan studi banding ke pesantren? Jawabannya adalah karena tidak adanya – atau kalau ada sangatlah sedikit – pesantren yang merumuskan pendidikan berbasis akhlak-tasawuf secara terperinci, yakni rumusan yang bisa diterapkan di banyak lembaga lain. Rumusan itu berisikan poin-poin inti dari langkah dan metode dalam menerapkan pendidikan berbasis akhlak-tasawuf (pendidikan karakter ala pesantren).
Tentang hal ini Gus Dur pernah mengingatkan dalam salah satu bukunya Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan bahwa pendekatan paling tepat untuk memahami pesantren adalah pendekatan naratif, yakni pesantren itu sendiri yang menjelaskan tentang dirinya sebelum pihak lain yang mencoba memahami dengan cara mereka. Pihak luar kesulitan untuk menemukan rumusan yang pas ketika mereka hendak mengadopsi pendidikan karakter dari pesantren. Untuk itu dibutuhkan gerak aktif dari pesantren sendiri dalam merumuskannya yang nantinya dapat dipahami, diserap, dan menjadi inspirasi bagi pihak-pihak lain dalam mengembangkan pendidikan karakter. Bila hal itu terjadi, tentu satu poin dakwah pesantren akan didapat tanpa perlu membuang banyak tenaga mengiklankannya. Amin. Wallahu a’lam.

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar