Minggu, 15 Oktober 2017

Filosofi Pesantren



Filosofi Pesantren
Trilogi Dimensi Islam
Ada tiga dimensi islam yang mengarah pada manusia: dimensi lahir yaitu dimensi gerak-gerik anggota tubuh, dimensi nalar yang digambarkan dengan akal dan keyakinan, dan dimensi spiritual yang berpusat di dalam hati.
Dalam sebuah hadis panjang yang diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab dijelaskan[1]:
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ قَالَ بَيْنَمَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيدُ سَوَادِ الشَّعَرِ لَا يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلَا يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ وَقَالَ :
يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِي عَنْ الْإِسْلَامِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِسْلَامُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتُقِيمَ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ وَتَصُومَ رَمَضَانَ وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنْ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيلًا قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْأَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ،
قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِيمَانِ قَالَ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ،
قَالَ صَدَقْتَ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ الْإِحْسَانِ قَالَ أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ،
قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ السَّاعَةِ قَالَ مَا الْمَسْئُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنْ السَّائِلِ قَالَ فَأَخْبِرْنِي عَنْ أَمَارَتِهَا قَالَ أَنْ تَلِدَ الْأَمَةُ رَبَّتَهَا وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُونَ فِي الْبُنْيَانِ قَالَ ثُمَّ انْطَلَقَ فَلَبِثْتُ مَلِيًّا ثُمَّ قَالَ لِي يَا عُمَرُ أَتَدْرِي مَنْ السَّائِلُ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ جِبْرِيلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِينَكُمْ
Artinya, “Umar bin al-Khaththab berkata, 'Dahulu kami pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu datanglah seorang laki-laki yang bajunya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan. Tidak seorang pun dari kami mengenalnya, hingga dia mendatangi Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam lalu menyandarkan lututnya pada lutut Nabi Shallallahu 'Alaihi Wasalam, kemudian ia berkata:
'Wahai Muhammad, kabarkanlah kepadaku tentang Islam? ' Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasalam menjawab: "Kesaksian bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa Ramadlan, serta haji ke Baitullah jika kamu mampu bepergian kepadanya.' Dia berkata, 'Kamu benar.' Umar berkata, 'Maka kami kaget terhadapnya karena dia menanyakannya dan membenarkannya.'
Dia bertanya lagi, 'Kabarkanlah kepadaku tentang iman itu? ' Beliau menjawab: "Kamu beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk." Dia berkata, 'Kamu benar.'
Dia bertanya, 'Kabarkanlah kepadaku tentang ihsan itu? ' Beliau menjawab: "Kamu menyembah Allah seakan-akan kamu melihat-Nya, maka jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia melihatmu."
Dia bertanya lagi, 'Kapankah hari akhir itu? ' Beliau menjawab: "Tidaklah orang yang ditanya itu lebih mengetahui daripada orang yang bertanya." Dia bertanya, 'Lalu kabarkanlah kepadaku tentang tanda-tandanya? ' Beliau menjawab: "Apabila seorang budak melahirkan (anak) tuan-Nya, dan kamu melihat orang yang tidak beralas kaki, telanjang, miskin, penggembala kambing, namun bermegah-megahan dalam membangun bangunan." Kemudian dia bertolak pergi. Maka aku tetap saja heran kemudian beliau berkata; "Wahai Umar, apakah kamu tahu siapa penanya tersebut?" Aku menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.' Beliau bersabda: "Itulah jibril, dia mendatangi kalian untuk mengajarkan kepada kalian tentang pengetahuan agama kalian'."
Di dalam hadis itu dijelaskan tentang empat pertanyaan yang diajukan oleh Jibril as kepada nabi saw. Pertanyaan pertama tentang islam. Kedua, tentang iman. Ketiga, tentang ihsan. Dan keempat, tentang tanda-tanda hari kiamat. Pertanyaan keempat bukanlah pertanyaan tentang manusia, melainkan ramalan dan kabar tanda-tanda terjadinya hari kiamat. Karena itulah pertanyaan keempat bukan merupakan bagian dari dimensi islam yang mengarah pada diri manusia.
Dari hadis itu pula kemudian dirumuskan konsep-konsep trilogi islam; Islam dirumuskan menjadi rukun Islam dan dibahas di dalam suatu disiplin ilmu yang disebut fikih[2], Iman yang dirumuskan menjadi rukun iman yang dibahas di dalam ilmu kalam atau ilmu tauhid, Ihsan yang kemudian dirumuskan dalam teori-teori tasawuf.
Menurut al-Ghazali, manusia memang terdiri dari tiga unsur: tubuh, akal, dan hati.
1.      Dimensi Iman
Secara bahasa iman artinya membenarkan dalam hati.[3]Keyakinan dan kepercayaan.
Sedangkan dalam istilah syariat islam, iman diartikan dengan mempercayai dengan hati dan mengukuhkannya dengan lisan.[4]Bahkan ada pula yang mendefinisikan iman dengan kepercayaan dalam hati, mengukuhkannya dengan lisan, dan mengamalkannya dalam perbuatan.[5] Dari definisi ini maka semua perbuatan baik dapat disebut iman.[6]Meski penyebutan iman untuk ucapan dan perbuatan sejatinya adalah metafora peluasan makna (at-tausi`ah atau al-muqarabah),[7]karena dalam pembahasannya iman adalah aspek keyakinan yang ada di dalam hati.
Selanjutnya, iman dalam agama islam adalah ranah ontologi[8], yakni pembahasan mengenai Yang Ada dan Yang Nyata (al-wujud atau al-maujud dan al-waqi’, bieng dan real). Seorang manusia dalam melakukan apapun didasari oleh apa yang dia yakini, yakni keyakinan terhadap hubungan sesuatu dengan yang lain. Dan keyakinannya tentang hubungan didasari atas keyakinannya pada apa yang dia yakini ada. Jika sesuatu tidak diyakini ada, tentunya juga tidak diyakini memiliki pengaruh, dan nantinya tidak perlu dijadikan satu bahan pertimbangan dalam melakukan suatu perbuatan. Misalnya seseorang yang tidak meyakini bahwa jin itu ada, tentu tidak meyakini akan pengaruh jin, sehingga dia tidak akan pernah menempatkan jin sebagai salah satu pertimbangannya dalam melakukan sesuatu, seperti sesajen, pesugihan, atau meminta perlindungan Tuhan atas gangguan jin atau setan, dan lain sebagainya. Itu semua dikarenakan bagi orang tersebut jin itu tidak ada (tidak al-wujud).
Islam sebagai agama memiliki rumusan ontologinya sendiri bahwa apa Yang Ada tidak harus bersifat materi, melainkan ada pula sesuatu yang di luar materi, yakni Tuhan yang menciptakan segala materi dan beberapa ciptaan Tuhan yang juga tidak bersifat materi, seperti malaikat dan nafsu. Selain itu hari kiamat (yang juga mencakup hari pembalasan, surga dan neraka, hisab, mizan, dan lain sebagainya) juga ada (al-wujud). Malaikat, setan atau iblis, jin juga ada. Tuhan juga mengutus para utusan, artinya para rasul yang diutus untuk menyampaikan risalah Tuhan juga ada. Kitab yang diturunkan pada para rasul juga ada. Serta takdir atau ketentuan Tuhan – baik yang bersifat baik maupun buruk – juga ada.
Iman juga membahas tentang esensi dan eksistensi dari al-wujud. Esensi adalah unsur pokok dari yang al-wujud dalam kaitannya dengan dirinya sendiri. Sedangkan eksistensi adalah unsur pokok dari yang al-wujuddalam kaitannya dengan barang lain.
Allah swt memiliki sifat yang esensi, yakni al-wujud (ada), al-qidam(tanpa awal), al-baqa’ (tanpa akhir), al-mukhalafah li al-hawadits(berbeda dari yang lain), al-qiyam bi nafsih (independen mutlak), dan al-wahdaniyah(esa). Allah juga memiliki sifat-sifat yang eksistensi (ada kaitannya dengan makhluk), seperti al-iradah (berkehendak) dan al-qudrah(berkuasa).[9]
Juga ada pembahasan tentang esensi Yang Ada lainnya, misalnya malaikat, jin, manusia terbuat dari apa? Juga pembahasan eksistensinya, seperti apa tugas malaikat? Tugas jin dan manusia? Dan lain sebagainya.
Selain itu, iman juga membahas tentang hubungan antara yang ada. Misalnya, hubungan antara ada-nya Tuhan bukanlah sebab (kausalitas maupun perantara) dari ada-nya ciptaan, melainkan Tuhan menciptakan alam semesta karena murni kehendak-Nya untuk menciptakan.[10]
Juga hubungan antara beberapa Yang Ada, misalnya hubungan antara rasul dengan manusia lainnya. Rasul as adalah seorang utusan yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi seorang penyampai risalah, pemimpin, dan panutan. Tugas seorang rasul adalah menyampaikan pesan (tabsyir dan tandzir) Tuhan kepada umatnya, serta mengingatkan mereka agar senantiasa menjadi hamba yang taat kepada-Nya. Kemudian rasul as juga menjadi pemimpin yang mengkoordinir, bermusyawarah dengan umat, dan mengupayakan agar kebutuhan masyarakat terpenuhi sesuai dengan perintah risalah Tuhan. Serta tugas rasul as adalah sebagai panutan bagi umatnya. Karena hubungan inilah apapun yang diperintah oleh rasul as tak ubahnya perintah Tuhan dan harus ditaati serta dilaksanakan segenap hati.
***
Dilihat dari objek kajiannya, iman dapat dibagi menjadi tiga poin. Pertama 

1.      Dimensi Islam


2.      Dimensi Ihsan

Ketiga dimensi itu haruslah berjalan beriringan dan proporsional. Tasawuf dan ihsan tidak bisa diimplementasikan bebas dari tauhid dan syariah. Tasawuf tidak seperti halnya filsafat intuisi dan estetika yang bebas bias keyakinan, namun justru tasawuf haruslah didasari oleh tauhid: keimanan pada Tuhan yang maha Esa.
Al-Qusyairi dalam risalahnya memaparkan:
Ketahuilah bahwa tokoh-tokoh golongan ini (sufi) mendasari pokok-pokok pikiran mereka pada dasar tauhid yang benar. Mereka menjaga akidahnya dari bidah dan menyelaraskan dengan apa yang ada pada ulama salaf dan ahlu sunah, yakni keyakinan tauhid tanpa ada penyamaan (tamtsil) dan sikap anti sifat (ta’thil). Serta mengetahui apa yang seharusnya dimiliki oleh Allah Yang Maha Terdahulu, dan memahami betul aksioma yang pasti dimiliki oleh barang baru (al-mawjud an al-‘adm).[11]
Pandangan al-Qusyairi ini didasarkan pada pendapat-pendapat tokoh-tokoh sufi sebelumnya, seperti as-Syibli, al-Junaid al-Baghdadi, dan Dzun Nun al-Mishri. Bahkan al-Busyinji ketika membahas tentang pengesaan dalam tasawuf secara jelas menyatakan, “Tauhid adalah mengetahui bahwa Allah tidak sama dengan makhluk dan tidak bebas sifat.”[12]
Senada dengan hal di atas, Abdul Qadir al-Jilani juga menjelaskan bahwa dasar-dasar makrifat dalam tasawuf adalah tauhid, yakni pengesaan Tuhan tanpa disamakan dengan apapun, serta disucikan dari sifat yang tidak pantas bagiNya.[13]
Selain tasawuf harus berjalan sesuai dengan tauhid, tasawuf juga harus didasari oleh syariat yang mapan. Artinya harus ada keseuaian di antara kedua dimensi tersebut. Implementasi ihsan yang keluar dari batas-batas syariat islam justru akan menciptakan bentuk yang baru di luar segi tiga dimensi islam itu sendiri.

Dimensi iman – dalam implementasinya – juga tidak dapat terlepas dari perilaku. Bahkan seseorang yang hanya meyakini tidak dapat disebut mukmin jika hanya berupa keyakinan yang beku di dalam hati.[14] Keyakinan haruslah terpancarkan dalam perilaku dan gerak tubuh manusia. Hal ini dipahami dari definisi iman itu sendiri yang melibatkan tiga unsur: meyakini, mengucapkan, dan mengamalkan.



Barakah
Barakah artinya bertambah kebaikannya dan senantiasa bertumbuh.

Filosofi barakah – atau biasa juga disebut berkah – artinya menghadirkan peran Tuhan dalam rumus-rumus hukum alam. Segala kausalitas di dunia ini tidaklah berjalan dengan sendirinya, melainkan ada peran ketiga – bahkan paling utama, yakni peran Tuhan yang Maha Pencipta. Jika dalam hukum alam kita ketahui makan akan mengakibatkan kenyang, maka dalam filosofi barakah dijelaskan bahwa kenyang tersebut tidak hanya diakibatkan oleh makan, melainkan juga peran Tuhan megenyangkan orang yang makan tadi. Bahkan peran Tuhanlah yang sejatinya berpengaruh dalam kausalitas tersebut.
Dalam  sebuah Hadis diceritakan tentang minuman satu mangkok yang dapat mencukupi untuk segenap sahabat ahlu suffah, bahkan pula membuat mereka merasa kenyang sebelum kemudian diminum oleh Nabi saw.[15]Dalam rumus kehidupan manusia, minuman yang hanya satu mangkok tak akan mencukupi apalagi mengenyangkan bagi banyak orang. Hal itu merupakan suatu yang mustahil. Tapi karena ada peran Tuhan yang dilibatkan dalam hukum kausalitas, maka keanehan cerita tersebut dapat dipahami, bahwa kenyang bukan karena minum atau makan (masuknya nutrisi ke dalam tubuh), tapi merupakan ketentuan Tuhan, sehingga minuman yang sedikit pun – jika sesuai dengan ketentuan Tuhan – maka akan mengenyangkan banyak orang seperti dalam kisah ahlu suffah di atas. Inilah yang disebut dengan barakah. Dengan barakah, sesuatu yang sedikit dapat mencukupi, seiring waktu senantiasa bertambah baik, dan dapat menutupi kebutuhan-kebutuhan seseorang. Itu semua diakibatkan karena ada peran Tuhan yang mengatur dan menyesuaikan segala hal tersebut.
Dengan konsep barakah ini, dapat dipahami betapa pentingnya doa dan meminta kepada Tuhan, bukan hanya meminta dengan kata-kata, tapi  juga meminta dengan menampakkan amal baik kepada-Nya. Banyak sekali penjelasan mengenai suatu amal baik yang dapat memperpanjang umur, memudahkan rizki, dan lain sebagainya. Itu semua merupakan bagian dari barakah.
Selanjutnya, barakah adalah hak Tuhan. Artinya yang mengatur berkah sejatinya adalah Tuhan. Setiap shalat dalam bacaan tahyat kita membaca “segala penghormatan, hal-hal yang diberkahi, anugerah, dan hal-hal baik adalah milik Allah swt.”
A.    Tabarruk (mencari berkah)
Dilihat dari objeknya tabarruk dapat dibagi menjadi:
1.      Nama Allah atau sifatnya
Tabarruk kepada Allah swt bisa langsung kepada dzatnya atau juga kepada nama atau sifatnya. Syibramulisi menjelaskan bahwa tabarruk sebagaimana dapat dilakukan dengan menyebut kata Allah, juga bisa dengan menyebut nama-namaNya[16]
2.      Orang saleh
3.      Perbuatan baik
4.      Tempat suci
5.      Waktu suci

B.     Al-Mubarakat (hal-hal yang berkah)
1.      Barakah dalam hidup

2.      Barakah dalam ilmu
Ilmu yang barakah  atau juga disebu ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang senantiasa tumbuh kebaikannya, bertambah jumlahnya, dan makin bermakna dalam kehidupan seseorang. Kebaikan ilmu tidak hanya dilihat dari kuantitasnya, tapi barometernya adalah kualitas dalam mengubah seseorang menjadi semakin baik. Ilmu yang tidak ada pengaruh baik pada diri seseorang adalah ilmu yang tidak bermanfaat, tidak berkah. Hal itu disebabkan karena ilmu tanpa amal perbuatan adalah tidak ada nilainya, dan sebaliknya amal tanpa didasari ilmu juga tidak ada nilainya.[17]
Dalam sebuah Hadis mauquf[18] diriwayatkan[19]:
العلم خير من العمل وملاك الدين الورع والعالم من يعمل بالعلم وإن كان قليلا
Artinya, “Ilmu lebih baik dari pada amal, tokoh-tokoh agama adalah orang-orang yang wara’ (enggan pada duniawi), orang yang berilmu adalah orang yang mengamalkan ilmunya meski ilmunya sedikit.”
Kualitas ilmu bukan dilihat dari kuantitas dari apa yang diketahui, melainkan sejauh mana ilmu itu berpengaruh baik pada diri orang yang memilikinya. Semakin banyak pengaruh yang diperoleh, semakin baiklah ilmu tersebut. Bahkan jika ilmu tidak berpengaruh sama sekali dalam mengubah amal kehidupan seseorang, ilmu tersebut bukanlah ilmu baik, meski secara lahir ilmu itu terlihat baik atau ilmu agama yang wajib dipelajari sekalipun.
Itu karena mencari ilmu yang memiliki martabat tinggi adalah ilmu yang mengarah pada tujuan menjadi manusia seutuhnya, yakni manusia yang bertakwa pada Tuhan. Sehingga ilmu apapun yang membuat seseorang menjadi insan yang bertakwa kepada Tuhan, akan membuat pemiliknya memiliki derajat yang luhur di sisi Allah swt. Sebaliknya ilmu yang  bertambah, tapi tidak membuat diri semakin bertakwa, ilmu tersebut justru membuat pemiliknya kian hina di sisi-Nya.

3.      Barakah dalam rizki
Manusia – ketika dilahirkan di dunia – sejatinya tidak dilahirkan dalam keadaan kosong, melainkan dia membawa catatan-catatan (takdir) Tuhan yang berkenaan dengan dirinya, termasuk di antaranya adalah catatan mengenai mati dan rizki.
Dalam sebuah Hadis dijelaskan:[20]
إِنَّ أَحَدَكُمْ يُجْمَعُ خَلْقُهُ فِي بَطْنِ أُمِّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا ثُمَّ يَكُونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَكُونُ مُضْغَةً مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ يَبْعَثُ اللَّهُ مَلَكًا فَيُؤْمَرُ بِأَرْبَعِ كَلِمَاتٍ وَيُقَالُ لَهُ اكْتُبْ عَمَلَهُ وَرِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَشَقِيٌّ أَوْ سَعِيدٌ.
Artinya, “Sesungguhnya setiap orang dari kalian dikumpulkan dalam penciptaannya ketika berada di dalam perut ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi 'alaqah (zigot) selama itu pula kemudian menjadi mudlghah (segumpal daging), selama itu pula kemudian Allah mengirim malaikat yang diperintahkan empat ketetapan dan dikatakan kepadanya, tulislah amalnya, rezekinya, ajalnya dan sengsara dan bahagianya lalu ditiupkan ruh kepadanya.
Catatan ini disebut dengan takdir. Takdir adalah ilmu Allah swt tentang apapun yang terjadi – di masa lalu maupun di masa mendatang. Ilmu ini kemudian dicatat di lauh mahfudz (kitab mubin) sesuai dengan penjelasan al-Quran.[21]
Al-Qurtubi ketika membahas Hadis silaturahim mengutip pendapat al-Mahlab bahwa rizki yang lapang artinya rizki yang berkah, karena silaturahim merupakan bagian dari sedekah dan sedekah dapat membuat harta meningkat, bertambah, dan bahkan semakin bersih.[22] Catatan rizki bagi seseorang dapat bertambah dengan silaturahim. Hal itu bukan berarti menentang takdir. Justru karena dalam catatan takdir ada pilihan-pilihan bagi manusia seperti halnya sebuah rumus, jika dia berbuat baik, maka rizkinya sekian, jika tidak, maka sekian.[23]





Khidmah
Secara bahasa khidmah adalah melayani,



Pembagian Ilmu
Dalam Islam ilmu tidak hanya dilihat sebagai sesuatu yang baik, melainkan ilmu adalah kebutuhan mendasar bagi seorang manusia. Sehingga dalam islam ilmu memiliki kedudukan luhur yang jika dimiliki oleh seseorang, maka dia akan memiliki martabat yang tinggi pula di sisi Tuhan (QS. Al-Mujadalah [58]:11). Tidak hanya itu, proses mencari ilmu pun dianggap sebagai suatu perbuatan yang bernilai tinggi dan sangat bermartabat. Karena proses mencari ilmu adalah salah satu proses paling mendasar bagi manusia untuk bisa menjadi manusia seutuhnya. Dalam Hadis dijelaskan bahwa seseorang yang sedang dalam proses mencari ilmu kedudukannya sama dengan seseorang yang sedang berjuang di jalan Allah.[24]Sehingga begitu mudahnya bagi orang yang sedang dalam proses mencari ilmu untuk mencari jalan menuju surga.[25]Itu semua karena proses mencari ilmu merupakan proses bagi manusia untuk dapat mencapai tujuan hidupnya, yakni ketakwaan kepada Allah.
Al-Quran menjelaskan dalam surah Fathir:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ [فاطر : 28]
Artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Takut atau takwa kepada Allah swt merupakan puncak dari tujuan manusia, karena ketakwaan adalah barometer kualitas manusia. Dan ketakwaan ini hanya akan diperoleh oleh orang-orang yang memiliki predikat ulama, yakni orang-orang berilmu.
Dari sini dapat dipahami pula tentang diwajibkannya mencari ilmu bagi semua muslim. Karena mencari ilmu adalah proses paling mendasar agar seseorang agar dapat menjadi seorang muslim yang hakiki.

Al-Ghazali membagi ilmu – dalam pandangan islam – menjadi dua: ilmu perbuatan (al-muamalah) dan ilmu ruhani (al-mukasyafah). Ilmu muamalah adalah ilmu yang dikaji untuk diimplementasikan dalam amal perbuatan. Sedangkan ilmu mukasyafah adalah ilmu yang berkenaan dengan ruhani.[26]Ilmu ruhani ini sejatinya tidaklah disebut sebagai ilmu, melainkan dimensi spiritual seseorang yang mendorong untuk berbuat baik dan berkarakter mengarah pada tujuan mulia.
Ilmu al-muamalah terdiri dari tiga hal, yakni ilmu tentang perbuatan, ilmu tentang keyakinan, dan ilmu tentang menghindar dari melakukan. Di mana ketiga ilmu itu bermuara pada kalimat syahadah (ketauhidan), artinya segala ilmu yang dibutuhkan – dari sisi ketauhidan – bagi seseorang, maka ilmu itu menjadi ilmu yang wajib baginya.[27]
a.       Dari sisi perbuatan, ketauhidan mengarahkan agar seseorang membuktikan ketauhidannya melalui amal perbuatan, yakni melakukan perintah Tuhan. Karena itu semua ilmu yang dibutuhkan untuk memenuhi perintah Allah, maka hukumnya wajib, seperti shalat dan bersuci.
b.      Dari sisi keyakinan, ketauhidan menuntut tidak adanya keraguan di dalamnya. Karena itulah ilmu yang membuat seseorang dapat menghilangkan keraguannya dalam bertauhid, maka ilmu itu wajib baginya.
c.       Kemudian dari sisi menghindar dari melakukan, ketauhidan juga berarti tunduk dan patuh untuk tidak melakukan apapun yang dilarang, baik berupa ucapan maupun perbuatan. Hal itu disesuaikan dengan kondisi di mana dan kapan dia berada. Misalnya seseorang yang hidup di daerah yang terdapat minuman keras, maka dia wajib untuk mengetahui apapun tentang haramnya minuman keras.
Alwi as-Saqaf merumuskan, Ilmu fardu ain ini adalah ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukmin untuk menjaga keabsahan imannya dan yang berkenaan dengan amal perbuatannya.[28]
Al-Ghazali kemudian menjelaskan, selain Ilmu yang wajib di atas, Ilmu al-muamalah dapat dibagi menjadi dua: ilmu syariat dan di luar syariat. Ilmu syariat adalah ilmu yang diserap dari kehidupan para rasul. Sedangkan selain itu adalah ilmu bukan syariat, semisal ilmu kedokteran, ilmu hitung, dan ilmu bahasa.
Ilmu syariat ada yang fardu ain, seperti penjelasan sebelumnya, ada pula yang fardu kifayah. Ilmu syariat yang fardu kifayah ini dibagi menjadi empat[29]:
1.      Ushul (ilmu primer) adalah al-Quran, Hadis, dan Ijma’ sahabat.
2.      Furu’ (ilmu sekunder) adalah semua ilmu yang dipahami dari ilmu ushul melalui penalaran makna, baik yang berkenaan dengan hal ukhrawi, seperti ilmu tentang akhlak terpuji atau tercela, ataupun yang berkenaan dengan hal duniawi, seperti fikih.
3.      Muqaddimah (ilmu pengantar) adalah semua ilmu perantara untuk memahami ilmu ushul dan furu’, seperti ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan ilmu tulis.
4.      Mutammimah (ilmu kajian mendalam) yakni ilmu yang berkaitan dengan ilmu ushul dan furu’ dan bukan perantara bagi keduanya, seperti ilmu ushul fikih, ilmu al-Quran, ilmu Hadis, dan kritik perawi hadis (al-Jarh wa at-ta’dil).
Kemudian ilmu di luar syariat dapat dibagi menjadi[30]:
1.      Hukumnya fardu kifayah bila ilmu itu merupakan suatu hal yang tidak boleh ditinggalkan karena menyangkut kepentingan orang banyak, misalnya kedokteran, ilmu hitung, pertanian, politik, dan industri. Hanya saja, semua ilmu ini jika melebihi dari kajian yang betul-betul diperlukan, maka hukumnya berubah menjadi sunah.
2.      Hukumnya haram, yakni semacam ilmu sihir dan ilmu propaganda.
3.      Hukumnya mubah semisal ilmu puisi dan syair dan ilmu kisah-kisah yang tak begitu penting untuk dikaji.
Semua ilmu yang dibutuhkan oleh pribadi seseorang, maka ilmu itu wajib baginya.[31] Semua ilmu yang dibutuhkan oleh kepentingan masyarakat umum yang tanpanya kehidupan di dunia tidak akan berjalan optimal, hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah.[32] Sedangkan ilmu yang di dalamnya terdapat keyakinan yang salah, propaganda, atau bahaya bagi dirinya atau orang lain, atau terdapat larangan dalam syariat untuk mempelajarinya, maka hukumnya haram.[33] Keharaman mempelajari ilmu semacam ini bukan diakibatkan oleh esensi ilmu yang haram, melainkan karena faktor luar yang berakibat pada larangan mempelajarinya. Menurut Abdurrahman al-Hadrami ilmu pada dasarnya pasti terpuji, kecuali ada faktor eksternal yang menyebabkan ilmu itu menjadi makruh atau bahkan haram untuk dipelajari.[34]
Masih menurut al-Hadrami, meskipun pada esensinya, ilmu adalah baik, akan tetapi hukum mencarinya disesuaikan dengan kondisi seseorang yang mempelajarinya.[35] Jika ilmu itu benar-benar dibutuhkan olehnya dalam kaca mata syariat, maka ilmu itu wajib. Jika yang membutuhkannya adalah kepentingan masyarakat atau dikaji agar pembahasan ilmu syariat tetap terjaga, maka mempelajarinya adalah fardu kifayah. Jika tidak terlalu dibutuhkan namun bermanfaat, maka sunah untuk dipelajari. Dan jika mengandung unsur negatif, baik bagi dirinya atau orang lain, maka hukumnya haram.



[1] Hadis no. 09, Shahih Muslim,
[2] Ilmu fikih (juga disebut ilmu ad-dirayah) adalah pengetahuan tetang apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, termasuk di antaranya adalah ilmu tauhid, ilmu akhlak, dan ilmu fikih itu sendiri. Menurut al-Ghazali istilah fikih mengalami perubahan makna, di mana di masa awal fikih bermakna pengetahuan tentang akhirat, bahaya nafsu, mementingkan akhirat dan meremehkan dunia, kemudian berubah menjadi pengetahuan tentang fatwa-fatwa hukum. Lihat: Shadiq al-Qanuji, Abjad al-Ulum al-Wasyi al-Marqum fi Bayan Ahwal al-Ulum, hal. 559-560. Lihat juga: Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 37, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002.
[3] Ali Al-Jurjani, at-Ta’rifat, hal. 38, al-Haramain.
[4] Ali Al-Jurjani, at-Ta’rifat, hal. 38, al-Haramain.
[5] Pendapat ini didasarkan pada Hadis yang diriwayatkan at-Tabrani dan al-Baihaqi. Lihat: Ibnu Baththal al-Qurtubi, Syarh Shahih al-Bukhari, juz. 1, hal. 58, maktaba.
[6] Abu Said al-Mutawalli, al-Ghunya fi Ushul ad-Din, juz. 1, hal. 173, maktaba
[7] Ibid, hal. 174, Abu Ishaq an-Naisaburi, al-Kasysyaf wa al-Bayan, juz. 1, hal. 146, maktaba.
[8] Ontologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu on (ada) dan ontos (berada). Istilah ini muncul pada pertengahan abad 17. Ontologi merupakan cabang filsafat yang berupaya mendeskripsikan hakekat wujud. Juga ada istilah philosophia enthis, filsafat mengenai yang ada. Tapi sebagai pencarian jawaban mengenai hakekat alam  semesta, jauh sebelumnya telah digunakan istilah filsafat alam.
[9] Sifat esensi Allah swt dirumuskan dalam dua kategori: nafsiyah dan salbiyah. Sedangkan sifat eksistensi dibagi menjadi: al-ma’ani dan al-ma’nawiyah. Lihat: Umm al-Barahin, Muhammad as-Sanusi, hal. 92-96, Semarang: Kriyoto Putra, tanpa tahun.
[10] Muhammad as-Sanusi, Umm al-Barahin, hal. 138-139, Semarang: Kriyoto Putra, tanpa tahun.
[11] Al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 5,
[12] Al-Qusyairi, ar-Risalah al-Qusyairiyah, hal. 6,
[13] Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghaniyah li Thalib Thariq al-Haqq Azz wa Jall, juz. 1, hal. 38-58, al-Halbi.
[14] Lihat ulasan at-Tabari dalam Syarh Shahih al-Bukhari, Ali al-Qurtubi,  juz. 1, hal. 58, maktaba
[15] Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari (6452) , juga oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak, juga oleh al-Baihaqi dalam as-sunan al-Kubra. 
[16]Asy-Syibramulisi, Hasyiyah ala Tuhfah al-Muhtaj, Juz. 1, hal. 6, maktaba
[17] Al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz. 4, hal. 512, maktaba.
[18] Hadis mauquf adalah hadis yang riwayatnya terhenti pada sahabat. Lihat:
[19] Hadis ini merupakan ucapan seorang sahabat bernama Ubadah bin ash-Shamit ra terdapat di al-Jami al-Kabir, Jalaluddin as-Suyuti, juz. 14, hal. 362, maktaba.
[20] Hadis no. 2969, Shahih Bukhari,
[21] Lihat QS. Al-An’am [6]:59, QS. Hud [11]: 6, QS. Yunus [10]: 61, QS. An-Naml [27]: 75, QS. Saba’ [34]: 3, dan QS. Al-Buruj [85]: 22.
[22] Ibnu Batthal al-Qurtubi, Syarh Shahih al-Bukhari, juz. 6, hal. 206. Lihat juga: al-Munawi, Faidh al-Qadir, juz. 3, hal. 84.
[23] Ibid.
[24] HR. Tirmidzi
[25] HR. Muslim.
[26] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 9, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002.
[27] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 22-23, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002.
[28] Alwi bin Ahmad as-Saqaf, Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 14, Surabaya: al-Haramain.
[29] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 24, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002.
[30] Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 1, hal. 23-24, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002.
[31]Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din, juz. 2, hal. 61, Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2002.
[32] Alwi bin Ahmad as-Saqaf, Sab’ah Kutub Mufidah, hal. 14, Surabaya: al-Haramain.
[33] Ar-Rafi’i, al-Aziz Syarh al-Wajiz,
[34] Abdurrahman al-Hadrami dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Alwi bin Ahmad as-Saqaf, hal. ..., Surabaya: al-Haramain
[35] Abdurrahman al-Hadrami dalam Sab’ah Kutub Mufidah, Alwi bin Ahmad as-Saqaf, hal. ..., Surabaya: al-Haramain

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar