Minggu, 15 Oktober 2017

makalah mahkum fih





KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur senantiasa kita lantunkan kepada sang pencipta alam semesta, yang telah memberikan ridho-nya, sehingga kita masih di berikan kesempatan untuk menghirup udara-nya, di beri akal fikir sehingga kita bisa memilah dan memilih nilai-nilai peraturan dunia yang negative dan positif sehingga nantinya kita tidak melupakan tanggung jawab sebagai hamba-nya.
Rahmat ta’dhim dan keselamatan semoga terlimpahkan kepada beliau sang pembawa rahmatan lilalamin di muka bimu, sang pemilih syafa’at bagi ummatnya untuk menuju syurga ilahi robbi, semoga kita terpilih sebagai ummat yang mendapat syafa’atnya kelak di akhirat. Amin.
Makalah yang kami susun ini dengan judul “ Pengertian,Syarat-Syarat dan Macam-Macam Mahkumfih”
Demikian kata pengantar kami, saran dan kritiknya yang konstruktif selalu kami harap demi kesempurnaan makal ini dan makalah berikutnya. Tiada kata dan harapan kecuali ucapan jazakumullah ahsanal jaza’
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.




                                                                                   











BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Alloh. Dia-lahsang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkaitan dengan hukum taklifi seperti wajib, sunnah, haram, makruh, mubah, maupun yang terkait. dengan hukum wad’i seperti sebab, syarat, halangan, sah, batal, fazid, azimah dan rukhsoh.untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih,karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram.atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian mahkum fih itu?
2.      Apa saja syarat-syarat mahkum fih?
3.      Apa saja macam-macam mahkum fih?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Mahkum Fih
Untuk menyebut istilah peristiwa hukum atau objek hukum, sebagian ulama ushul menggunakan istilah mahkum fih, karena di daa perbuatan atau peristiwa itulah ada hukum, baik hukum wajib maupun yang hukum haram. Sebagian ulama lainnya menggunakan istilah mahkum bih, karena perbuatan mukallaf itu bisa disifati dengan hukum, baik bersifat yang diperintahkan maupun yang dilarang.
Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (Allah dan Rasul-nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Para ulama pun sepakat, bahwa seluruh perintah syar’i itu ada objeknya, yakni perbuatan mukallaf. Dan terhadap perbuatan mukallaf tersebut ditetapkan suatu hukum. Misalnya:
a.       Firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah :43
وَاَقِيْمُوا الصَّلوةَ ....  الآية
Artinya: dirikanlah shalat ... (QS.Al-Baqarah :43)
Ayat ini berkaitan dengan perbuatan orang mukallaf, yakni tuntutan untuk mengerjakan shalat, atau berkaitan dengan kewajiban mendirikan shalat.
b.      Firman Allah SWT. dalam surat Al-An’am :151
بِاْلحَقّ    . . .  الَّتِى حَرَّمَ اللهُ اِلاَّ وَلاَتَقْتُلُوا النَّفْسَ
Artinya: janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar . . . (QS.Al-An’am :151)
Dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.

c.       Firman Allah SWT. dalam surat Al-Maidah :5-6
. . . كُمْ اِلىَ اْلمَرَافِقِ ا قُمْتُمْ  اِلىَ الصَّلوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَاِذَ...
Artinya: apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku . . . (QS.Al-Maidah:5-6)
Dari kandungan ayat di atas, dapat diketahui bahwa wudhu merupakan salah satu perbuatan orang mukallaf, yang termasuk salah satu syarat sahnya shalat.
d.      Rosulullah SAW. bersabda:
لاَيَرِثُ اْلقَاتِلُ (رواه ابوداود ومالك واحمد بن حنبل)
Artinya: pembunuh tidak mewarisi (HR.Abu Daud, Imam Malik, dan Ahmad bin Hanbal)
Dari hadits tersebut dapat diketahui bahwa salah satu penyebab seseorang tidak mendapat harta waris adalah pembunuhan. Dengan demikian, pembunuhan itu merupakan perbuatan mukallaf yang menjadi penghalang (mani’) untuk menerima waris.
Dengan beberapa contoh di atas, dapat diketahui bahwa objek hukum itu adalah perbuatan mukallaf. Berdasarkan hal itu, ulama ushul fiqih menetapkan kaidah “tidak ada taklif (pembebanan hukum) melainkan terhadap perbuatan”. Kaidah tersebut telah disepakati oleh sebagian besar ulama ushul. Di antara mereka, ada yang berargumen bahwa apabila dalam syara’ tercakup hukum wajib ataupun sunnah, maka perintahnya pasti jelas, yakni perintah wajib itu berkaitan dengan keharusan, sedangkan sunnah tidak demikian, tetapi keduanya sama-sama bisa terlaksana dengan adanya perbuatan.
Begitu pula hukum syara’ yang berkaitan dengan haram dan makruh keduanya terjadi dengan perbuatan, yakni mengekang diri untuk tidak melaksanakan sesuatu yang haram atau yang makruh tersebut.

C.  Syarat-syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul mengemukakan beberapa syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum), yaitu:
1.    Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakn shalat misalnya, sebelum dia tahu persis, rukun, syarat, dan cara-cara shalat tersebut.
Dalam Al-Qur’an, perintah shalat dinyatakan antara lain dalam ayat: “dirikanlah shalat !” perintah shalat dalam Al-Qur’an ternyata masih global, maka Rasulullah SAW. menjelaskannya sekaligus memberikan contoh, sebagaimana sabdanya, “shalatlah sebagaimana aku shalat”. Begitu pula perintah-perintah syara’ lainnya, seperti zakat, puasa, dan sebagainya. Tuntutan untuk melaksanakannya dianggap tidak sah sebelum diketahui syarat-syarat, rukun, waktu dan sebagainya.
2.    Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. Sseseorang harus mengetahui bahwa tuntutan itu dari Allah SWT. sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata. Sebenarnya, hal itu sama dengan hukum yang berlaku dalam hukum positif, yakni tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya peraturan yang jelas. Hal itu antara lain, untuk menghindari kesalahan dalam melaksanakannya sesuai tuntutan syara’. Adapun yang dimaksud dengan pengetahuan mukallaf tentang apa yang dituntut kepadanya, adalah kemampuan untuk mengetahui perbuatan bukan kemampuan melaksanakannya. Hal itu telah direalisasikan di dunia Islam. Ketika seseorang itu dinyatakan sempurna akalnya, dan diperkirakan mampu mengetahui hukum syara’; baik dengan cara mempelajari melalui akalnya sendiri atau dengan cara bertanya kepada para ulama, maka sudah dinyatakan bahwa mengetahui dan menanggung beban syari’at. Namun tidaklah diterima suatu halangan dengan alasan karena kebodohan, sesuai dengan pendapat para fuqaha: “tidaklah diterima didunia islam, udzur( (halangan) yang disebabkan oleh kebodohan”.
Dan di antara sebab adanya pernyataan dimungkinkan mengetahui hukum, karena apabila disyaratkan seorang mukallaf harus mengetahui tuntutan yang dibebankan kepadanya, maka perbuatan yang harus dilakukan itu tidak akan terwujud. Dan akan banyak sekali manusia yang akan berhalangan karena tidak mengetahui hukum syara’. Dan kita pun sering menemukan dalam perundang-undangan manusia, bahwa hukum itu dinyatankan telah diketahui manusia, apabila telah disebarluaskan secara wajar.
3.    Perbuatan harus mungkin untuk dilaksanakan atau ditinggalkan. Berkaitan dengan hal ini, terdapat beberapa syarat, antara lain:
a)              Tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau di tinggalkan berdasarkan kesepakatan jumhur ulama, baik berdasarkan zatnya ataupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Contoh  yang mustahil berdasarkan  zatnya sendiri adalah berkumpulnya antara perintah dan larangan dalam suatu tuntutan dan dalam waktu yang bersamaan. Sedangkan contoh kemustahilan yang berdasarkan dari luar zatnya adalah suatu yang bisa digambarkan berdasarkan akal, namun menurut kebiasaan tidak mungkin dilakukan, misalnya menyuruh manusia terbang tanpa sayap, atau mengangkat gunung, dan lain-lain.
b)             Para ulama ushul fiqih menyatakan tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifkan untuk dan atas nama orang lain. Oleh karena itu, seseorang tidak dibenarkan melakukan shalat untuk menggantikan saudaranya, atau menunaikan zakat menggantikan bapaknya. Dengan kata lain, bahwa seseorang tidaklah dituntut atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Hal yang mungkin dilakukan adalah menasihati dan amar ma’ruf nahyi munkar.
c)              Tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang berhubungan dengan fitrah manusia seperti gembira, marah, takut dan sebagainya, karena hal itu berada diluar kendali manusia. Hal itu bisa dikaitkan dengan kecintaan seorang suami kepada istrinya yang satu dibandingkan kepada istri-istrinya yang lain. Dalam hal ini Rasulullah bersabda, “Ya Allah ini adalah bagianku, maka jangan paksakan dengan apa yang Engkau miliki, namun tidak aku miliki.”
d)             Tercapainya syarat taklif tersebut, seperti syarat iman dalam masalah ibadah dan bersuci untuk shalat.
C.    Macam-macam Mahkum Fih
Para ulama ushul fiqih membagi mahkum fih dari dua segi, yaitu: dari segi keberadaannya secara materi dan syara’, serta dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu sendiri.
Dari segi keberadaannya secara materi dan syara’, mahkum fih terdiri atas:
1.    Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum. Makan dan minum adalah perbuatan mukallaf, tetapi perbuatan makan itu tidak terkait dengan hukum syara’.
2.    Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syara’, yaitu hudud dan qishas.
3.    Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4.    Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Perbuatan seperti ini secara material ada dan diakui oleh syara’. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya, perbuatan itu mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain, yaitu halalnya berhubungan suami istri, kewajiban nafkah, dan kewajiban mahar dalam perkawinan; berpindahnya hak milik dalam jual beli; dan berhaknya seseorang menafkahkan milik orang lain; serta berhaknya pihak lain untuk menerima upah dalam akad sewa menyewa.
Diliahat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi dalam empat bentuk, yaitu;
1.    Semata-mata hak Allah, yaitu segala sesuatu yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan umum tanpa kecuali. Dalam hak ini seseorang tidak dibenarkan melakukan pelecehan dan melakukan suatu tindakan yang mengganggu hak ini. Hak sifatnya semata-mata hak Allah ini, menurut ulama ushul fiqih ada delapan macam:
a.    Ibadah Mahdah (murni), seperti iman dan rukun islam yang lima.
b.    Ibadah yang di dalamnya mengandung makna pemberian dan santunan, seperti zakat fitrah, karenanya disyaratkan niat dalam zakat fitrah, dan kewajiban itu berlaku untuk semua orang, termasuk anak kecil atau orang gila yang belum/tidak mampu bertindak hukum.
c.    Bantuan/santunan yang mengandung makna ibadah, seperti zakat hasil yang dikeluarkan dari bumi.
d.    Biaya/santunan yang mengandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad.
e.    Hukuman secara sempurna dalaam berbagai tindak pidana, seperti hukuman berbuat zina (dera atau rajam), hukuman pencurian (potong tangan), hukuman qadzaf (dera 80 kali), dan hukuman-hukuman terdapat tindak pidana ta’zir.
f.     Hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang tidak diberi hak waris atau wasiat, karena ia membunuh pemilik harta tersebut.
g.    Hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kafarat sumpah, kafarat dzihar, kafarat orang yang melakukan senggama di siang hari bulan ramadhan, dan berbagai diyat lainnya.
h.    Hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan harta rampasan perang.
2.    Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta seseorang yang dirusak, hak-hak kepemilikan, dan hak-hak pemanfaatan hartanya sendiri. Hak seperti ini boleh digudurkan oleh pemiliknya.
3.    Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya ebih dominan, seperti hukuman utuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari sisi kemaslahatan dan kehormatan, hak ini termasuk hak Allah, dan dari sisi menghilangkan maludari orang yang dituduh, hak ini termasuk hak pribadi (hamba Allah). Akan tetapi, menurut ulama ushul fiqih, hak Allah lebih dominan dalam masalah ini.
4.    Kompromi antara hak Allah dan hak hamba, tetapi hak hamba didalamnya lebih dominan, seperti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut berkaitan dengan pemeiharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh, sedangkan hak pribadi hamba Allah menjamin kemasahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi, karena dalam pelaksanaan qishas itu sepenuhnya diserahkan kepada ahli waris terbunuh dan mereka berhak untuk menggugurkan hukuman tersebut, maka hak hamba Allah dianggap lebih dominan dalam hal ini.


















BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Menurut ulama ushul fiqh, yang dimaksud dengan mahkum fih adalah objek hukum, yaitu perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (Allah dan Rasul-nya), baik yang bersifat tuntutan mengerjakan; tuntutan meninggalkan; memilih suatu pekerjaan; dan yang bersifat syarat, sebab, halangan, azimah, rukhsah, sah serta batal.
Syarat-syarat mahkum fih:
1.         Perbuatan itu diketahui oleh mukallaf dengan jelas, sehingga dia sanggup melakukannya seperti yang diminta dari padanya.
2.         Harus diketahui bahwa pentaklifan itu berasal dari orang yang mempunyai wewenang untuk mentaklifkan dan termasuk orang yang wajib atas mukallaf mematuhi hukum-hukumnya.
3.         Bahwa perbuatan yang ditaklifkan itu mungkin terjadi, artinya melakukannya atau meninggalkannya berada dalam batas kemampuan mukallaf.
Macam-macam mahkum fih:
1.      Perbuatan yang secara material ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti makan dan minum.
2.      Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinaan, pencurian, dan pembunuhan.
3.      Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
4.      Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’ serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti nikah, jual beli, dan sewa menyewa









DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i, rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung:Pustaka Setia,2010
Ahmad, Zainal Abidin, Ushul Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.



Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar