Minggu, 02 Juli 2017

Santri Kudu PEDE! Masa Sich?!

Ngomong-ngomong soal pede, apalagi dikalangan satri yang kaya kita ini, bagaikan hal yang biasa. Namun, cara yang mau mengekspresikannya yang kadang sulit. Soalnya apa? Kita santri yang notabene setiap harinya selalu berperilaku salafi, baik dari akhlak, cara bergaul dan cara berpakaian pasti akan di uji oleh pergaulan dunia luar, yang kayaknya semua itu bertentangan banget dengan kebiasaan kita yang ada lingkungan pesantren ini. Nah, disinilah yang kita akan singgung pada kesempatan kali ini yaitu. “Santri Kudu Pede!”. Jangan sampai salah mengartikan, yang dimaksud adalah seorang santri harus tetap pede dalam menghadapi tantangan dunia luar, kita juga dituntut menjaga almamater kita sebagai santri secara hakiki baik dalam keadaan apapun.
Mungkin hal diatas yang paling sering kita temukan saat kita sudah liburan pesantren dan pulang ke kampung halaman masing-masing. Rasanya “kesantrian” kita luntur pada waktu itu. Betul gak? Penulis rasa, apa yang sudah kalian baca ada benarnya. Hehehh...
Ngomongin soal santri, penulis masih ingat dengan sehelai kain, sehelai kain kain bernam “Sarung” yang menjadi life style di kalangan pesantren dimanapun itu. Sebuah kultur budaya yang menampakkan image ke-tradisionalannya yang tak mudah terkontaminasi pekikan-pekikan jalang budaya barat yang sekarang sedang mewabahi kamunitas masyarakat dimana-mana, lebih-lebih kaum remaja seperti kita ini. Namun, perasaan tak mungkin bisa dibohongi. Saat ini, di era transformasi, keprihatinan kepada kaum pelajar khususnya santri seakan mengoyak rasa bangga, sehingga kekecewaan lahir dan bergejolak memenuhi relung hati yang terdalam.
Ketika mereka yang semula dengan bulir-bulir air matanya selalu bersimpuh di rumah Allah, mereka yang semula dengan belaian tasbih selalu melantunkan nyayian sesal karena dosa-dosa, lalu mengapa harus mesti gengsi untuk sekedar “bersahabat” dengan yang namanya sarung ketika mereka pulang kehalaman rumah mereka masing-masing? Seringkali mereka termakan oleh rayuan zaman yang tak mesti membawa kebahagiaan itu. Katanya, mereka malu memakai sarung dihapan teman-temannya, ingin beradaptasi dengan orang yang ada di luar sana, kurang modernlah dan lain-lain. Sehingga, oleh rayuan demi rayuan itulah mereka rela mengganti budaya sarung dengan Jeans dan Borju. Terkadang pula sampai ada yang menggantinya dengan celana yang tergolong pendek yang dengan otomatis membuat aurat mereka terumbar dihalayak ramai.
Terkadang saya tidak mengerti, mengapa mereka berlakon seperti itu? Padahal kepribadian yang baik bukan karena pakaian yang disandangnya. Kepribadian yang baik adalah kepribadian yang terbungkus oleh akhlakul karimah dan akidah. Bukan bergaya urakan semacam itu, yang lebih pantas dikatakan sebagai sebuah pemodohan budaya dan kebodohan yang nyata.
Seharusnya mereka tetap eksis mempertahankan dan melestarikan budaya pesantren, sehingga simbol kesalafan itu tidak mudah terbujuk rayu transformasi zaman dan budaya. Tetapi, bukan harus statis, kuno, mandeg, ataupun jalan ditempat. Melainkan berperinsip pada nilai-nilai amaliyah yang di uswahkan oleh para salafuna as-shalihin, para alim dan masyayikh yang telah menitik beratkan pendidikan pesantren pada tatanan “tafaqquh fiddin”, berakhlakul karimah dan tanggap menghadapi perubahan zaman. Seperti yang telah didawuhkan oleh al-maghfirullah kiai Ghozi bin Noerhasan “Santri itu harus I’timad Ala Nafsi” (percaya diri) pada kesantriannya dan jangan mudah terombang-ambing oleh pertukaran zaman dan pergeseran moralitas manusia. Maksud beliau, didalam pondok mereka santri, diluar pondok mereka tetap menjadi santri. Seharusnya mereka berpijak pada budaya mereka sendiri, meski zaman mengatakan budaya pesantren adalah kolot dan ketinggalan zaman.


0 komentar:

Posting Komentar