Ngomong-ngomong soal pede,
apalagi dikalangan satri yang kaya kita ini, bagaikan hal yang biasa. Namun,
cara yang mau mengekspresikannya yang kadang sulit. Soalnya apa? Kita santri
yang notabene setiap harinya selalu berperilaku salafi, baik dari akhlak, cara
bergaul dan cara berpakaian pasti akan di uji oleh pergaulan dunia luar, yang
kayaknya semua itu bertentangan banget dengan kebiasaan kita yang ada
lingkungan pesantren ini. Nah, disinilah yang kita akan singgung pada
kesempatan kali ini yaitu. “Santri Kudu Pede!”. Jangan sampai salah
mengartikan, yang dimaksud adalah seorang santri harus tetap pede dalam
menghadapi tantangan dunia luar, kita juga dituntut menjaga almamater kita
sebagai santri secara hakiki baik dalam keadaan apapun.
Mungkin hal diatas yang
paling sering kita temukan saat kita sudah liburan pesantren dan pulang ke
kampung halaman masing-masing. Rasanya “kesantrian” kita luntur pada waktu itu.
Betul gak? Penulis rasa, apa yang sudah kalian baca ada benarnya. Hehehh...
Ngomongin soal santri,
penulis masih ingat dengan sehelai kain, sehelai kain kain bernam “Sarung” yang
menjadi life style di kalangan pesantren dimanapun itu.
Sebuah kultur budaya yang menampakkan image ke-tradisionalannya yang tak mudah
terkontaminasi pekikan-pekikan jalang budaya barat yang sekarang sedang
mewabahi kamunitas masyarakat dimana-mana, lebih-lebih kaum remaja seperti kita
ini. Namun, perasaan tak mungkin bisa dibohongi. Saat ini, di era transformasi,
keprihatinan kepada kaum pelajar khususnya santri seakan mengoyak rasa bangga,
sehingga kekecewaan lahir dan bergejolak memenuhi relung hati yang terdalam.
Ketika mereka yang semula
dengan bulir-bulir air matanya selalu bersimpuh di rumah Allah, mereka yang
semula dengan belaian tasbih selalu melantunkan nyayian sesal karena dosa-dosa,
lalu mengapa harus mesti gengsi untuk sekedar “bersahabat” dengan yang namanya
sarung ketika mereka pulang kehalaman rumah mereka masing-masing? Seringkali
mereka termakan oleh rayuan zaman yang tak mesti membawa kebahagiaan itu.
Katanya, mereka malu memakai sarung dihapan teman-temannya, ingin beradaptasi
dengan orang yang ada di luar sana, kurang modernlah dan lain-lain. Sehingga,
oleh rayuan demi rayuan itulah mereka rela mengganti budaya sarung dengan Jeans
dan Borju. Terkadang pula sampai ada yang menggantinya dengan celana yang
tergolong pendek yang dengan otomatis membuat aurat mereka terumbar dihalayak
ramai.
Terkadang saya tidak
mengerti, mengapa mereka berlakon seperti itu? Padahal kepribadian yang baik
bukan karena pakaian yang disandangnya. Kepribadian yang baik adalah
kepribadian yang terbungkus oleh akhlakul
karimah dan akidah. Bukan
bergaya urakan semacam itu, yang lebih pantas dikatakan sebagai sebuah
pemodohan budaya dan kebodohan yang nyata.
Seharusnya mereka tetap
eksis mempertahankan dan melestarikan budaya pesantren, sehingga simbol
kesalafan itu tidak mudah terbujuk rayu transformasi zaman dan budaya. Tetapi,
bukan harus statis, kuno, mandeg, ataupun jalan ditempat. Melainkan berperinsip
pada nilai-nilai amaliyah yang di uswahkan oleh para salafuna as-shalihin, para alim
dan masyayikh yang telah menitik beratkan pendidikan pesantren pada tatanan “tafaqquh
fiddin”, berakhlakul karimah dan
tanggap menghadapi perubahan zaman. Seperti yang telah didawuhkan oleh al-maghfirullah kiai Ghozi bin Noerhasan “Santri itu
harus I’timad Ala Nafsi”
(percaya diri) pada kesantriannya dan jangan mudah terombang-ambing oleh
pertukaran zaman dan pergeseran moralitas manusia. Maksud beliau, didalam
pondok mereka santri, diluar pondok mereka tetap menjadi santri. Seharusnya
mereka berpijak pada budaya mereka sendiri, meski zaman mengatakan budaya
pesantren adalah kolot dan ketinggalan zaman.
0 komentar:
Posting Komentar